Krisis Moral di Media Sosial

 15 Mei 2021   

Anggota Komisi A DPRD Prov. Jawa Tengah Fraksi Partai Gerindra

Dwi Yasmanto, S.TP

(Anggota Komisi A DPRD Prov. Jawa Tengah Fraksi Partai Gerindra)

Beberapa waktu lalu seorang teman mengirimkan video ke grup WA yang saya menjadi anggotanya. Video tersebut berisikan seorang perempuan dewasa berpakaian kaos dan celana kolor pendek sedang berjoget-joget riang bersama seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang keduanya berusia kurang lebih masih di bawah lima tahun. Sesaat setelah music berbunyi, wanita dewasa tersebut mulai menggerakan pinggulnya (joget), dan tiba-tiba kemudian anak laki-laki menggerakan tangannya berusaha menyentuh organ vital dari wanita dewasa tersebut. Sang wanita pun kaget dan tertawa sembari menoyor kepala anak tersebut.

Video-video lain yang beredar viral di media sosial, tidak sedikit juga memiliki kesamaan dengan model video di atas, yakni pemerannya menggunakan pakaian minim serta melakukan gerakan-gerakan menonjolkan bagian tubuh tertentu. Yang sebenarnya hal tersebut lebih cenderung ke arah eksploitisi tubuh secara erotis.

Selain pertunjukan video semacam itu, di lini massa media sosial juga tidak sedikit ditemui interaksi-interaksi yang bernada hujatan, ejekan, cemoohan, dan sejenisnya yang itu secara moril berhubungan dengan kesopanan dalam berinteraksi sosial.

Kondisi di atas merupakan diskripsi dari realita media sosial –khususnya di Indenosia- yang terdapat ekspresi-ekspresi tabu dalam konteks tatanan sosial kemasyarakatan Indonesia. Selain juga bahwa terdapat contain positif di media sosial yang bermanfaat untuk kehidupan masyarakat.

Moral dan Subjek

Berbicara tentang moral dan norma memang suatu hal yang abstrak. Dalam arti bahwa setiap individu atau masyarakat tertentu memiliki standard dan kesepakatannya masing-masing. Oleh sebab itu, dalam hal perbincangan media sosial ini apabila kita urai setidaknya terdapat tiga variable utama. Yaitu, penyedia aplikasi, pengguna aplikasi dan pemerintah selaku pembuat regulasi dari adanya aktifitas digital di negara ini.

Pertama, dalam hal penyedia aplikasi. Aplikasi dapat disuguhkan ke masyarakat dengan berbagai vitur dan juga kebijakan penggunaan yang menjadi ketentuan dari penyedia aplikasi. Dalam hal ini, tidak sedikit dari aplikasi media sosial yang menerapakan kebijakan pemblokiran contain yang berisi pornografi atau contain lain yang dapat mengggu kejiwaan, seperti tindak kekerasan dan pembunuhan.

Maka, pada variable pertama ini, penyedia aplikasi juga harus menyesuaikan kebijakan dalam hal ketentuan aplikasinya sesuai dengan norma wilayah pasar aplikasi. Sebab, tatanan norma yang ada di satu daerah pada nyatanya berbeda dengan negara lainnya. Dan ini juga berkaitan dengan regulasi yang diterapkan oleh suatu negara.

Kedua, variabel pengguna aplikasi. Ini adalah medan yang paling dinamis yang memang tidak dapat kita nyatakan secara seragam. Namun setidaknya dapat kita ketahui bahwa apa yang ditulis atau ditunjukan oleh pengguna aplikasi di akun media sosialnya sangat berkaitan dengan kepribadian dan subjektifitasnya. Hanya saja yang perlu disadari oleh masing-masing subjek pengguna medsos adalah, apa yang ia ekspresikan melalui media sosial akan menjadi konsumsi publik, tidak hanya konsumsi pribadinya. Oleh karenanya, mempertimbangkan bagaimana respon publik terhadap apa yang disampaikan melalui media sosial juga harus diperhatikan.

Bahwa yang harus disadari dalam beraktifitas sosial adalah tidak hanya persoalan benar dan salah, tetapi juga ada baik dan buruk, pantas dan tidak pantas yang itu berkaitan dengan aspek moral dalam berinteraksi sosial.

Seringkali kita mendengar dari seseorang yang mengumbar erotisme tubuhnya, atau keseksian dari tubuhnya adalah pembenaran bahwa itu merupakan hak dirinya, dan menyalahkan orang lain yang melecehkan atau berkomentar tidak baik pada dirinya. Yang luput dari pemikiran subjek tersebut adalah konsekuensi dari ekspresinya yang dimunculkan ke ranah public, bahwa tanggapan positif atau negative yang muncul dari orang lain atas dirinya tidak dapat dihindari, meskin respon yang melecehken juga sama-sama tidak dapat dibenarkan.

Dari fenomena tersebut sebenarnya sudah nampak bahwa moral, akhlak atau kesusilaan meski sifatnya adalah tidak nampak secara materi, namun ia nyata adanya, ada pada prilaku dari setiap individu.

Moral atau akhlak atau susila yang berada pada ranah diskursus baik atau buruk atas prilaku individu, sebenarnya bukanlah soal label atau penyebutan semata dari satu subjek ke subjek lainnya. Sesuatu disebut baik pastilah karena sesuatu itu dapat memberikan efek positif, begitupun penyebutan buruk juga karena dapat menimbulkan dampak negative.

Oleh karena itu, menyatakan contain yang berbau erotisme atau pornografi sebagai suatu hal yang buruk bukanlah tanpa alasan. Dampak buruk yang ditimbulkan dari sikap tersebut tentu berkaitan dengan degradasi moral bagi generasi bangsa yang berujung pada meningkatnya tindakan melawan aturan, baik aturan norma sosial ataupun aturan hukum negara. Meskipun sang pelaku mengatakan itu adalah hak pribadinya untuk berekspresi di media sosialnya, namun hal tersebut menjadi hak pribadi apabila itu dilakukan dan dikonsumsi secara pribadi, apabila hal tersebut sudah dimunculkan dalam ruang publik maka harusnya ia menyadari adanya hak orang lain di dalam ruang publik yang secara kolektif memunculkan apa yang disebut norma atau hukum.

Hasil riset yang dirilis oleh Microsoft pada akhir bulan Februari lalu menunjukan bahwa diantara negara-negara se-Asia Tenggara, warganet atau nitizen Indonesia berada pada tingkat terendah dalam hal kesopanan digital saat berinteraksi di dunia maya. Sungguh hal tersebut sangat miris, mengingat adat dan budaya bangsa Indonesia yang terkenal santun dan ramah.

Selain itu, data dari NCMEC (National Center for Missing and Exploited Children) menunjukan media sosial meningkatkan angka kekerasan dan eksploitasi seksual anak. Pada Januari-September 2020 secara global, kekerasan dan eksploitasi seksual anak mencapai sekitar 98,66 persen, yang umumnya terjadi berawal melalui media sosial.

Sementara itu, ECPAT Indonesia (END Child Prostitution), lembaga yang fokus bergerak di bidang penghapusan prostitusi, pornografi dan perdagangan anak untuk tujuan seksual di Indonesia, pada akhir 2020 lalu merilis hasil surveinya terhadap 1.203 reponden anak terkait kerentanan anak terhadap eksploitasi seksual anak. Hasilnya 25 persen atau sekitar 287 anak telah mengalami perlakuan buruk tersebut.

Ketiga, variable pemerintah yang membuat peraturan. Yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini adalah membuat peraturan. Pada aspek ini maka peraturan dimunculkan tidak hanya untuk pengguna media sosial, tetapi juga penyedia aplikasi media sosial. Adanya UU ITE dan UU tentang Pornografi sebenarnya sudah cukup apabila dibarengi dengan kesadaran pengguna medsos untuk berprilaku baik di media sosial. Namun, pada nyatanya tidaklah demikian. Sehingga perlu adanya regulasi yang memperketat penyedia aplikasi dalam hal kebijakan pengunggahan contain yang tidak pantas di media sosial.

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kominfo yang memiliki fungsi diantaranya merumuskan kebijakan pelaksanaan komunikasi dan informasi dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi, sudah seharusnya memiliki peraturan yang jelas dan tegas dalam mengatur aktifitas di media sosial yang semakin terbuka penggunaannya oleh semua kalangan.

Aktiftas digital di media sosial saat ini dihadapkan pada dua persoalan besar, selain tentang penyebaran hoax juga tentang pornografi dan pornoaksi. Ketegasan yang dapat dilakukan adalah selain memberikan ketentuan terhadap penyedia aplikasi dan sanksi apabila melanggar, juga melakukan pemblokiran terhadap akun-akun yang terbukti mengunggah dan/atau menyebarkan contain yang berisi hoax, pornografi dan porno aksi.

Penyikapan bersama

Dari tiga variable di atas, persoalan mendasarnya adalah pada manusianya dalam perilaku, baik di media maya ataupun di media nyata. Dengan adanya media sosial yang dapat dengan mudah menjadikan orang terkenal (viral), di satu sisi memberikan ruang untuk sebagian orang berprilaku “aneh” agar mudah dikenal. Bisa jadi hal tersebut adalah karena motif ekonomi supaya mendapatkan banyak follower sehingga menjadi selebritis di dunia maya, dan pada akhirnya mendapatkan tawaran untuk melakukan promosi (endorse) produk di akun medianya meski harus dengan mengorbankan moralitas.

Melihat realita dari contain video sebagaimana diskripsi di atas maka dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa persoalan moral terjadi akibat lunturnya rasa malu pada diri setiap pelaku dan sikap permisif dari masyarakat di sekitar pelaku, khususnya keluarga. Sikap permisif atau membiarkan prilaku yang demikian itu menjadikan sang pelaku merasa dibenarkan atas tindakannya.

Oleh karenanya, untuk menanggulangi persoalan ini harus dimulai dari pendidikan di dalam keluarga sedari dini. Pendidikan yang dimaksud adalah tentang budi pekerti yang itu dimulai dengan mengajarkan apa yang baik untuk dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan secara etik, tidak hanya pengajaran tentang kognitif semata. Sebab yang lebih sulit adalah membangun kepribadian yang luhur pada anak daibandingkan hanya kepintaran kognitif.

Akhirnya, kita semua tidak sekedar berbicara tentang perkembangan teknologi dalam dunia digital. Melainkan tentang manusia yang menggunakan teknologi tersebut. Maka perlu adanya kesadaran bersama dari mulai subjek pengguna teknologi, penyedia aplikasi dan pemerintah untuk bersepakat bersama bahwa moralitas harus dijunjung tinggi untuk kehidupan yang beradab.

TAGS :