Pakar Politik Universitas Udayana Soal Hasil Putusan MK: Sejumlah Aspek Krusial Yang Melandasi Keputusan MK

 24 April 2024   

Babak pamungkas sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) atau sengketa Pilpres 2024 oleh Mahkamah Konstitusi (MK) digelar pada Senin, 22 April 2024. Dosen Ilmu Politik Universitas Udayana (Unud) Efatha Filomeno Borromeu Duarte menyebut ada sejumlah aspek krusial yang melandasi penilaian putusan MK.

Keputusan ini berdasarkan Putusan MK Nomor 1 Tahun 2024 tentang Tahapan, Kegiatan, dan Jadwal Penanganan Perkara PHPU Anggota DPR, DPD, serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Inti gugatan meminta MK membatalkan keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 tentang penetapan hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden 2024. 

Pada sidang pamungkas tersebut, MK memutus dalil presiden mengintervensi pencalonan Gibran tak beralasan hukum,dalam hal ini MK menilai secara substansi perubahan syarat pasangan calon di regulasi KPU telah sesuai amar putusan MK Nomor 90. Kemudian, menurut MK dukungan Jokowi terhadap Prabowo –Gibran tidak melanggar hukum, tapi potensial menjadi masalah etika.

Setelah melewati serangkaian persidangan dengan keterangan ahli dan alat bukti, lima hakim MK menolak gugata Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, dan tiga hakim menyatakan memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion. Selaras, MK juga menolak permohonana Ganjar Pranowo-Mahfud Md seluruhnya setelah membacakan pertimbangan dan dalil-dalil permohonan. 

Terkait hasil putusan tersebut, pakar politik Unud Efatha Filomeno Borromeu Duarte melalui pesan tertulis kepada Tempo, Senin, 22 April 2024, menyampaikan bahwa dalam pengambilan keputusan ini terdapat sejumlah aspek krusial yang menjadi landasan penilaian MK.

Efatha menilai MK memiliki standar yang ketat dalam mengevaluasi bukti yang diajukan. Kata dia bukti yang disampaikan oleh pihak Anies-Muhaimin mungkin tidak memenuhi ambang batas yang diperlukan untuk membuktikan adanya ketidakadilan atau kesalahan prosedural yang signifikan. 

“Dari sudut pandang ini, penolakan MK bisa diartikan sebagai bukti dari prosedur hukum yang robust, di mana hanya gugatan yang benar-benar didukung oleh bukti kuat dan relevan yang akan diterima.” Ujar Efatha, Senin, 22 April 2024.

Efatha menyoroti aspek legalitas dan kepatuhan terhadap regulasi oleh MK, menurutnya MK telah mengambil keputusan yang berani ditengah tabrakan nilai etika dan moral yang menjadi dalil atas tuduhan sengkarut pemilu 2024. Hal ini berdasarkan interpretasi yang holistik terhadap undang-undang pemilihan umum yang ada. 

“Saya melihat MK mengacu pada "Iura novit curia", Mahkamah Konstitusi diperlengkapi legitimasi dan pemahaman mendalam tentang undang-undang pemilihan umum yang digunakan untuk menilai keabsahan gugatan yang diajukan. Keputusan penolakan gugatan Ini menunjukkan bahwa Prabowo-Gibran telah mematuhi semua persyaratan hukum yang ditetapkan, yang pada gilirannya mengukuhkan legitimasi dan keabsahan pencalonan mereka,” kata dia.

Lebih lanjut Efatha menyebut MK mungkin bertujuan untuk mempercepat rekonsiliasi nasional dan mencegah polarisasi lebih lanjut, yang menguntungkan semua pihak dalam jangka panjang. “Saya membaca bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi untuk menolak gugatan hasil Pilpres 2024 mungkin diarahkan untuk mempercepat rekonsiliasi nasional dan menghindari polarisasi lebih lanjut yang bisa memecah belah masyarakat,” ujarnya.

Dari perspektif sosial ini, kata dia, mencerminkan kebijakan yang bertujuan untuk memelihara integritas institusional dan memperkuat norma-norma demokrasi dan pertimbangan jangka panjang sekaligus mengurangi risiko konflik sosial yang lebih besar. 

“Hal ini menunjukkan bahwa pengadilan tidak hanya merupakan forum untuk penyelesaian sengketa, tetapi juga sebagai medium penting untuk memperkuat fondasi demokrasi dan menjaga kohesi sosial,” kata Efatha.

Efatha juga menyoroti adanya dissenting opinion dari tiga hakim MK. Ia menyebut hal ini menunjukkan bahwa sistem peradilan di Indonesia memungkinkan adanya variasi interpretasi dan pendapat yang berbeda, yang merupakan tanda dari sistem hukum yang matang dan kompleks. 

“Putusan MK ini bisa diibaratkan sebagai pohon keadilan yang tegak lurus di tanah yang namanya demokrasi. Setiap daunnya, yang melambangkan keputusan yang diambil oleh para hakim, meski tampak serupa, namun masing-masing memiliki detail yang unik—menggambarkan dissenting opinions yang beragam,” ujar Efatha.

“Pohon ini harus bertahan dalam badai politik yang keras, menyediakan naungan yang adil bagi semua yang berlindung di bawahnya, namun juga harus cukup fleksibel untuk tidak patah di bawah tekanan kepentingan yang bertentangan,” ujarnya.

Ia juga menegaskan bahwa keputusan hukum, meski berbasis pada prinsip dan aturan, juga memerlukan pertimbangan kontekstual dan nuansa yang kompleks.

Adapun kedelapan hakim yang bertugas memutus sengketa Pilpres 2024 hari ini yaitu Suhartoyo sebagai Ketua Hakim, Saldi Isra, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, M. Guntur Hamzah, Ridwan Mansyur, dan Arsul Sani.

source: tempo.co

TAGS :